Selasa, 22 Maret 2011

Emosi Amarah

Hadits Tentang Emosi Amarah
Oleh : Hasan Asyari Syaikho


A.    Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang memiliki rasa dan emosi. Hidup manusia diwarnai dengan emosi dan berbagai macam perasaan. Manusia sulit menikmati hidup secara optimal tanpa memiliki emosi. Manusia bukanlah manusia, jika tanpa emosi. Kita memiliki emosi dan rasa, karena emosi dan rasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita sebagai manusia.
Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yang secara alami memiliki emosi. Menurut James, emosi adalah keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan sesuatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak nyata pada perubahan jasmaninya.[1] Sebagai contoh ketika seseorang diliputi emosi marah, wajahnya memerah, nafasnya menjadi sesak, otot-otot tangannya menegang dan energi tubuhnya memuncak. Dan menurut Syaikh Shaleh al-Fauzan hafizhahullah, orang yang tidak bisa marah, terdapat kekurangan pada dirinya. Hanya saja, kemarahan itu harus diterapkan pada tempatnya. Apabila melampaui batas dan rambunya, maka akan menimbulkan bahaya sehingga akan merugikan dan menjadi sifat tercela.[2]
Berdasarkan latar belakang tersebut, pemakalah akan memaparkan hadits yang berkenaan dengan emosi amarah dan bagaimana pula mencegah atau meredamkan amarah itu. Mari kita simak bersama-sama!
B.     Emosi Amarah
Emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan mation yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah energi yang terus bergerak dan bergetar. Emosi dalam makna yang paling harfiah didefinisikan sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.[3] Emosi yang kita bahas yaitu tentang emosi amarah.
Marah menurut Chaplin didefinisikan sebagai reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi.[4] Emosi secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah maupun yang verbal atau lisan.
Marah merupakan gejolak jiwa yang mengakibatkan darah dalam hati mendidih dengan nafsu ingin membalas. Jika gejolak ini sangat keras , dia bisa mengobarkan api marah. Akibatnya darah dalam hati mendidih semakin dahsyat, seluruh saraf dan otak tergelapi oleh asap pekat yang merusak kondisi benak dan memperlemah aktivitas benak. Marah juga dapat menghasilkan perasaan benci, dengki, dendam, fitnah dan lain sebagainya.
Emosi atau suka marah adalah bagian dari akhlak tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Sebab hanya akan mendatangkan permusuhan dan kerugian dalam hidup bermasyarakat. Rasulullah juga memberikan larangan kepada umatnya untuk melakukan perbuatan emosi atau mudah marah dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sebagaimana sabdanya sebagai berikut :

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : أوصني قال : " لا تغضب " فردد مِرارا , قال : لا تغضب  (رواه البخارى)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah engkau mudah marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau : “Janganlah engkau mudah marah”. (HR. Bukhari)[5]

Dari hadits di atas mengandung dua penafsiran, yaitu : pertama, tahanlah marah, yaitu ketika ada sesuatu yang membuat marah maka berusahalah untuk tidak melampiaskan kemarahannya. Kedua, Menghindarkan diri dari sebab-sebab yang mendatangkan kemarahan.
وعن ابي هريرة رضي الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلم قال: ليس الشّديد بالصرعة انما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب (رواه البخارى و مسلم)

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw telah bersabda:“Orang yang kuat bukanlah orang yang kuat bantingan, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai nafsunya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).[6]

Allah juga memuji orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah dan mampu memaafkan kesalahan orang lain dalam QS. Ali Imran : 134 dan diriwayatkan juga dalam sabda Nabi saw, sebagai berikut :

وعن معاذ ابن انس رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم قال : من كظم غيظا, وهو قادر على ان ينفذه, دعاه الله سبحانه وتعالى على رؤس الخلا ئق يوم القيامة حتى يخيره من الحور العين ما تشاء (رواه ابو داؤد و ترمذى)

Dari Mu’adz bin Anas ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda:“Barang siapa menahan marah padahal dia mampu untuk mencurahkan kemarahannya, maka pada hari kiamat nanti Allah SWT akan memanggilnya dihadapan segala makhluk, sehingga dia dipersilahkan untuk memilih bidadari yang dikehendakinya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).[7]
C.    Cara Mencegah Dan Meredamkan Amarah
Menurut filosof Aristoteles dalam The Nicomashean Ethics, “Marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”
Persoalannya sekarang, dapatkah sifat marah benar-benar ditiadakan dari dalam diri manusia?
Jawabannya, meniadakan sifat amarah adalah omong kosong, baik secara teoritik maupun praktik. Selamat dari api kemarahan bukan berarti meniadakan atau menghilangkan sifat amarah dalam diri kita, sebab menghilanhgkan sifat amarah dari dalam diri kita sama halnya dengan menghabisi emosi kita sebagai manusia.
Banyak trik, teknik, kiat, cara atau bahkan teori-teori yang didukung oleh peneliti-peneliti ilmiah tentang bagaimana rahasia mengendalikan amarah itu. Misalnya, dengan melakukan gerakan-gerakan seperti berikut : Pertama, tarik nafas dalam-dalam. Kedua, hembuskan nafas pelan-pelan. Ketiga, pejamkan mata. Keempat, pecahkan amarah yang menumpuk di kepala keseluruh tubuh.
Untuk mengurangi ketegangan akibat kemarahan tersebut, Anda bisa melampiaskannya, misalnya dengan cara berlari, memukul sesuatu (yang tidak merusak dan merugikan orang lain), atau berteriak keras-keras. Setelah itu akan mendapati sedikit demi sedikit api kemarahan itu akan padam.
Dalam beberapa hadits, Nabi saw telah menghadirkan beberapa terapi nabawi untuk meredam emosi:
1.      Membaca Isti’adzah (doa mohon perlindungan) dari setan yang terlaknat.
عن سليمان بن صرد قال: استب رجلان عند النبي صلى الله عليه وسلم ونحن عنده جلوس، وأحدهما يسب صاحبه، مغضباً قد احمر وجهه، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إني لأعلم كلمة، لو قالها لذهب عنه ما يجد، لو قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم) (رواه البخارى و مسلم)

Dari Sulaiman bin Shurd ra berkata: Dua orang laki-laki saling mencerca didekat Nabi SAW, sedangkan kami sedang duduk di sisi Nabi, salah seorang dari mereka mencerca temannya karena sangat marah dan wajahnya memerah, maka Nabi SAW bersabda : ” sesungguhnya Aku  tahu sebuah kalimat yang bila diucapkannya, niscaya akan lenyap sikapnya (marahnya), andai ia mengatakan : A’uudzu billaihi minasy syaithaanir rajiim. ( HR. Bukhari dan Muslim).[8]

2.      Merubah posisi dengan duduk atau berbaring
عن أبي ذر رضي الله عنه إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لنا إذا غضب أحدكم وهو قائم فليجلس فإن ذهب عنه لغضب  وإلا فليضطجع (رواه الحمد)

Dari Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah saat berdiri, hendaknya ia duduk, kalau belum pergi amarahnya, hendaknya ia berbaring. )HR.Ahmad(

3.      Mengambil air wudhu

عن عطية السعدي رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إن الغضب من الشيطان وإن الشيطان خلق من النار وإنما تطفأ النار بالماء فإذا غضب أحدكم فليتوضأ  ( رواه الحمد و ابوداؤد)

Dari Athiyyah as-Sa’di radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan yang dapat memadamkan api itu hanyalah air, maka apabila seseorang dalam keadaan marah hendaklah segera berwudlu. (HR. Ahmad dan Abu Daud)[9]

4.      Menahan diri dengan diam
عن ابن عباس رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: واذا غضبت فاسكت (رواه الحمد و بخارى)

Dari Ibnu Abbas ra, Bahwa Rasulallah saw bersabda: “jika engkau marah, maka diamlah. (HR. Ahmad dan Bukhari).[10]

Maksud diam disini adalah menghentikan bicara, karena dengan tetap bicara sangat mungkin kemarahannya bertambah, atau ia mengucapkan perkataan yang akan ia sesali setelah kemarahannya reda.

5.      Mengingat-ingat keutamaan orang yang sanggup menahan emosi dan bahaya besar yang timbul dari luapan amarah yang akan dijauhkan dari taufik.
Dari Mu’adz bin Anas ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda:“Barang siapa menahan marah padahal dia mampu untuk mencurahkan kemarahannya, maka pada hari kiamat nanti Allah SWT akan memanggilnya dihadapan segala makhluk, sehingga dia dipersilahkan untuk memilih bidadari yang dikehendakinya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Meski demikian, ada kondisi-kondisi khusus dimana seseorang dibolehkan untuk marah, yaitu marah untuk membela agama Allah, dan untuk membela kehormatan seorang muslim yang diinjak-injak. Dalam kondisi seperti itu marah menjadi suatu tindakan yang terpuji. Allah SWT berfirman, “Perangilah mereka niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) teman-temanmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, melegakan hati orang-orang beriman dan menghilangkan kemarahan mereka.” (QS Taubah : 15). Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah marah, namun jika larangan Allah dilanggar maka tidak ada sesuatu pun yang dapat meredam kemarahannya. (HR. Bukhori dan Muslim).
D.    Kesimpulan
-        Manusia adalah makhluk yang secara alami memilki emosi. Apabila manusia yang tidak bisa emosi (marah), terdapat kekurangan pada dirinya. Hanya saja, kemarahan itu harus diterapkan pada tempatnya.
-        Emosi atau marah merupakan akhlak tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Rasulullah juga melarang kepada umatnya untuk melakukan perbuatan emosi atau mudah marah dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sebagaimana sabdanya yang telah disebutkan di atas.
-        Banyak trik, teknik, kiat, cara atau bahkan teori-teori yang didukung oleh peneliti-peneliti ilmiah tentang bagaimana rahasia mengendalikan amarah. Rasulullah juga memberikan resep untuk menghentikan rasa marah. Yakni dengan membaca ta’awudz atau dengan berwudhu. Sebab emosi adalah pengaruh setan, sedangkan setan sangat takut terhadap orang yang membaca ta’awudz. Dan sebaiknya apabila salah seorang di antara kamu marah hendaklah segera berdiam diri. Jangan banyak bicara, namun perbanyaklah berdzikir kepada Allah.
-        Ada kondisi-kondisi khusus dimana seseorang dibolehkan untuk marah, yaitu marah untuk membela agama Allah, dan untuk membela kehormatan seorang muslim yang diinjak-injak. Dalam kondisi seperti itu marah menjadi suatu tindakan yang terpuji, sesuai dengan firman Allah SWT QS. At-Taubah: 15
E.     Penutup
Demikian makalah yang kami buat, dan kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran agar dapat menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi pemakalah sendiri. Aamiiin.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Yunan, Lc ; “ Hadits Arba’in An-Nawawi dan Terjemahannya “, (Surakarta : Media Insani Press, 2007).

Al-Adawy, Musthofa,  Fikih Akhlak, (Jakarta : Qisthi Press, 2005).

Safaria, Triantoro dan Nofrans Eka Saputra, “MANAJEMEN EMOSI : Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda “, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009).

Sunarto, Ahmad, dkk ; Terjemah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993).

Team Penyusun Lintas Media Jombang, “Kumpulan Khutbah Jum’at Para Kyai “, (Jombang : Lintas Media),

http://alqiyamah.wordpress.com/2010/03/05/Petunjuk-Nabi-Dalam-Meredam-Luapan-Emosi/



[1]Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, “MANAJEMEN EMOSI : Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda “, ( Jakarta : Bumi Aksara), 2009. Cet.I. hlm 11
[3] Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Op.Cit. hlm 12
[4] Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Ibid. hlm 74
[5] Yunan Abduh, Lc ; “ Hadits Arba’in An-Nawawi dan Terjemahannya “, (Surakarta : Media Insani Press), 2007. Cet. II. hlm 31
[6] Team Penyusun Lintas Media Jombang, “Kumpulan Khutbah Jum’at Para Kyai “, (Jombang : Lintas Media),  hlm. 121
[7] Ibid, hlm 121-122
[8] Ahmad Sunarto, dkk ; Terjemah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa’) 1993. hlm. 106
[9] Musthofa Al-Adawy,  Fikih Akhlak, (Jakarta : Qisthi Press). 2005, Cet. I. hlm 408
[10] Ibid, hlm. 410

Tidak ada komentar:

Posting Komentar